MENGAPA MANUSIA BUTUH MAGHFIROH

Kurangnya pemahaman tentang maghfiroh atau ampunan, banyak orang muslim yang tak menghiraukan atau bahkan abai terhadap pentingnya mendapatkan maghfiroh atau ampunan. Apalagi setiap 10 hari kedua bulan Ramaadhan sesuai hadits nabi SAW adalah sesi Terbukanya maghfiroh.

Lalu muncul pertanyaan, sebegitu besarkan dosa dan kesalahan manusia, sehingga butuh maghfiroh atau ampunan daru Alloh ?

Maka kita masing-masing bisa menjawabnya, karena memang stigma kita dihadapan Alloh adalah “ mahallul khotho’ wan-nis-yaan “ yakni stigma tempat salah dan lupa, diperkuat lagi dengan hadits Rasululloh SAW. :

كل بني آدم خطاء, وخير الخطّائين التوابون". (الترمذي وابن ماجه والحاكم وصححه)

setiap anak cucu Adam pasti berbuat Dosa, dan sebaik-baiknya yg berbuat dosa adalah yang bertaubat’. (HR. At Tirmizi & Ibnu Majah) 

Untuk mendapatkan gambaran yang kongkrit, mari kita introspeksi melacak seberapa butuhnya kita akan maghfiroh, sehingga di 10 hari kedua ini, kita termotivasi untuk memaksimalkan kesempatan untuk meraih maghfirulloh.

Awal tujuan penciptaan manusia adalah sebagai kholifatulloh fil ardl, yakni wakil Alloh di bumi, sebagaimana firman Alloh :

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” ( Q.S. al-Baqarah: 2/30 )

Yang mempunyai tugas “ memakmurkan bumi” atau menjaga kelestarian bumi sebagai base-camp kehidupan manusia.

هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا

“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS.Huud:61)

Untuk menopang misi hidup dalam mengawal kelestarian alam di bumi itulah, manusia dianugerahi Alloh dengan akal, yang dengan akan itu dapat ditemukan teknik, strategi dan cara-cara yang efektif dan efisien untuk merealisasikan pemakmuran bumi.

Namun, selain memiliki fungsi kholifatulloh dan mempunyai misi imarotul ardl, manusia juga punya amanah kehidupan yang harus ia jalankan, yakni beribadah menyembah dan mengabdi kepada Alloh :

 

 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja)” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

untuk menopang kesempurnaan ibadah inilah Alloh menganugerahi hidayatuddin atau petunjuk agama, agar manusia bisa berbakti dan mengabdi kepada Alloh, dengan harapan agar dapat kembali ke rumah asal manusia, yaitu surga, tempat Nabi Adam as. Dulu tinggal.

èDari penjelasan di atas:

Secara fisik manusia dianugerahi akal untuk membantu mengemban amanah kholifatulloh dalam menjaga kelestarian alam. Namun berapa sering kita khilaf dalam menggunakan akal kita, sehingga kita tidak menjaga kemakmuran alam, tapi justru merusaknya demi memenuhi nafsu kesenangan. Dan mal-fungsi akal yang mengakibatkan kerusakan alam ini telah ditegaskan Alloh  dalam Q.S. ar-Rum :41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Lalu  sejauh mana kita memanfaatkan akal kita, apakah untuk kemaslahatan atau menimbulkan kemadlorotan,  kalau kemadlorotan,kerusakan dan kemasiatan yang kita hasilkan dengan akan kita, maka berapa banyak dosa dan khilaf yang telah kita lakukan, dan masihkah kita tidak mengharap curahan maghfiroh Alloh, padahal untuk beristighfar, meohon ampun ataupun bertaubat, sungguh amat berat dan sulit mewujudkannya.

Secara psikis ruhaniyah manusia dianugerahi hidayah Islam, agar ia dapat beribadah dengan baik dan benar, sehingga hubungan dirinya dengan Alloh akan baik dan sempurna, yang menjadikan ia bisa kembali pulang ke kampung halaman yakni surga, tanpa harus tersesat dan mampir ke neraka.

Namun betapa sering kita menyalahgunakan hidayah agama, di mana hati nurani sebagai pusat kendali, sehingga mengakibatkan cacat dan buruknya pengabdian kepada Alloh, karena tidak ikhlas, riya’ atau takabbur dan lainnya, sehingga berakibat tertolaknya fungsi ibadah kita.

Bukankah kesalahan ruhani seperti ini juga tidak butuh maghfiroh ? dengan ketimpangan dan kecerobohan ruhani tersebut, masihkan kita tidak bahagia dengan masuknya kita ke 10 hari kedua di ramadhan ini.

Masing-masing kita dapat menjawabnya dalam diri kita masing-masing.