SOSIOLOGI RAMADHAN
DI TENGAH PANDEMI
Oleh : H.
Yusron Kholid
Kasi PD. Pontren Kemenag Kab. Magetan
Manusia
adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri tanpa keberadaan manusia
lain, sejalan dengan dimensi makna sosial adalah hubungan antar invidu dengan
individu, individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok.
Perkembangan
sosial yang terjadi sebagai efek dari datangnya Ramadhan sekali dalam setahun
menunjukkan terjadinya perubahan secara signifikan sesuai dengan kondisi sosio
kultural di suatu bangsa atau wilayah tertentu. Pun di Indonesia, perubahan
sosial yang membentuk dan memunculkan sebuah budaya,
juga terjadi seiring dengan perubahan pranata sosial, di mana pada tiga
dekade yang lalu, budaya efek Ramadhan tentu berbeda dengan 10 tahun terakhir dan
bahkan dengan tahun 2020 sekarang ini,
hal itu karena Ramadhan merupakan penghulu bulan bagi umat muslim karena
disyariatkannya puasa sebagai inti ibadah pada bulan tersebut yang sekaligus
sebagai salah satu dari 5 rukun Islam sebagai jatidiri dan identitas sebagai
seorang muslim, ditambah amaliyah sunnah lain yang membuat Ramadhan padat
dengan nilai-nilai individu pelaku puasa, seperti Sahur, ifthar /berbuka,
tarawih, i’tikaf, qiroatul Qur’an, zakat, infaq serta shodaqoh, dan amaliyah lain selama Ramadhan, maka secata
langsung maupun tidak langsung nilai-nilai individual tersebut akan meberikan efek kepada perubahan
sosial, budaya serta peradaban.
Diantaranya
adalah bangkitnya stimulan ketaatan dalam beribadah, di mana sering kita
saksikan pergerakan aktifitas muslim yang begitu meriah menyambut Ramadhan,
juga tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan dan bahkan membuat gelombang besar
pergerakan manusia dengan dalih silaturrahmi di akhir bulan Ramadhan bulan 1001
bulan tersebut, dengan budaya mudik yang naik secara signifikan dari tahun ke
tahun. Sehingga pada dekade terakhir seakan Ramadhan tercerabut dari nilai
dasar dan karakteristiknya, dimana gejala sosial yang terjadi, masjid musholla
ramai hanya di awal-awal Ramadhan, lalu pada hari-hari berikutnya justru
pusat-pusat bekanja yang ramai dikunjungi, dan pada akhirnya justru terjadi
kesibukan dalam aktifitas mudik yang tidak jarang justru menampilkan budaya
hedonis dan hipokritas kepura-puraan, di mana seseorang seakan dituntut untuk
tampil mapan, cukup bahkan berlebih saat bertemu keluarga, sanak dan kerabat
ketika mudik.
Perubahan
sosial budaya itu terus berkembang sesuai dengan sosio-kultural yang lebih luas
dan beragam, hal itu tampak di kota-kota besar tumbuh subur Sahur on The
Road aktifitas sahur di jalan
dengan berkeliling menaiki kendaraan yang entah apa esensinya, dan juga Tarling
Tarawih Keliling dengan berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain, juga Bukber
berbuka bersama oleh komunitas yang tak terbatas, sehingga saat maghrib tiba
justru pusat-pusat kuliner yang menjadi pusat keramaian, di mana tidak jarang
banyak diantara peserta bukber harus kehilangan maghribnya lantaran antrean
penghidangan menu atau tidak tersedianya tempat sholat yang terjangkau dan
memadai
Sehingga
nampak dan terasa nuansa anomali Ramadhan,di mana pada era 70-80 an Ramadhan
begitu khusyu’, khidmat dan bersahaja, lalu berubah di era 90 dan 2000 an
menjadi suasana hingar bingar, atas nama syiar Ramadhan, dan ironinya, tidak
sedikit kaum muslim yang terseret ke dalam arus perubahan sosio-budaya tersebut
serta lupa bahkan tidak paham lagi esensi dan kesejatian Ramadhan yang
sesungguhnya sebagai bulan penuh rahmat, berkah dan ampunan. Mayoritas
menganggap Ramadhan hanyalah sebuah bulan untuk ritual tahunan yang perlu
diramaikan di awal dan akhir bulan, dan aktifitas pun tidak banyak berubah,
bahkan orang muslim yang tidak berpuasa pada siang hari tanpa beban menyantap
makanan atau meminum kopi di kedai-kedai, padahal secara esensial Ramadhan
adalah bentuk kasih sayang Alloh terhadap hambaNya, dengan memberi cara bahwa
untuk menjumpaiNya dan berkomunikasi dengan lancar dan sempurna manusia harus
menahan memenuhi kebutuhan syahwatiyah
makan, minum dan jimak sepanjang siang mulai terbit fajar hingga tenggelamnya
sang surya.
Ada beberapa tradisi
yang melembaga di bulan puasa ini sesuai dengan waktu-waktu tertentu yang
dihubungkan dengan ikon-ikon puasa. Antara lain menyambut bulan Ramadlan, menyongsong
waktu buka, cara berbuka, waktu sahur serta aktivitas ba’da shalat shubuh.
Menyongsong
bulan suci Ramadlan, diawali dengan mengirim rantang pada orang tua atau yang
dianggap tua dari kerabat, setelah melembaga kemudian berubah menjadi tradisi parcel
awal puasa tradisi ini disebut megengan
Berikutnya menyongsong waktu buka, ada tradisi yang
sering dikenal ngabuburit (di Jawa Barat yang kemudian menjadi umum juga
sebutan tersebut) yaitu keluar rumah menjelang magrib dengan tujuan menunggu
datangnya waktu magrib, pada awalnya sederhana kemudian berkembang menjadi
sangat kompleks dan bisa dipandang sebagai kegiatan sia-sia dan mengganggu. Terlebih sejak penggunaan sepeda motor menjadi
sangat lumrah dan umum, munculnya club-club sepeda motor menjadi pengisi
jalalanan –tentu saja dengan mengabaikan aturan lalu lintas—dan menggangu
pengguna jalan lainnya. Biasanya dimulai setelah waktu ashar.
Saat buka puasa
sejalan dengan pemberitaan media pada tahun 1880an mulai muncul kegiatan buka
bersama yang dilakukan instansi-instansi pemerintah pada awalnya lalu menyebar
pada komunitas tertentu dan terus menjadi melembaga pada kalangan tertentu pula
sehingga seakan menjadi bagian dari puasa itu sendiri.
Kegiatan lain yang
berhubungan dengan waktu buka adalah kegiatan ifthar (memberi buka
bagi yang berpuasa) pada awalnya kegiatan ini berjalan di mesjid-mesjid di kota
besar, kemudian menyebar akhir-akhir ini banyak juga didirikan semacam posko
yang menyediakan makanan untuk buka puasa bagi yang sedang di perjalanan.
Dari sisi lain puasa
juga melahirkan tradisi hasil kreativitas yang dihubungkan dengan icon-icon
puasa seperti waktu sahur, melahirkan tradisi membangunkan sahur yang dilakukan
oleh anak-anak muda dengan berkeliling kampung menggunakan kentongan dan alat pukul
lainnya yang mereka cipta sendiri, sisi ini terus berevolusi sejalan
perkembangan kapasitas dan sarana yang tersedia. Kini tradisi membangunkan
sahur berubah di beberapa wilayah perkotaan dengan adanya dangdutan keliling
serta penggunaan speaker dari mushala atau mesjid sejalan dengan sarana yang
dimiliki.
Belakangan muncul
juga tradisi terkait dengan sahur yang dilakukan anak-anak muda dengan sebutan sahur
on the road, penulis tidak tahu percis kegiatan ini bentuknya seperti
apa, yang jelas mereka berkendara sepeda motor berkeliling kota pada waktu
sahur.
Kegiatan subuh juga
tak ketinggalan melahirkan kegiatan kuliah subuh, suatu kegiatan ceramah
keagamaan dalam bulan puasa yang diselenggarakan setelah shalat subuh. Adapun
turunan dari kegiatan ini adalah budaya lari pagi yang entah muncul sejak
kapan, yang pasti sempat muncul tahun 1980an juga dan menjadi sorotan media
pada waktu itu dengan tajuk asmara subuh misalnya, dan terus berlanjut.
Memperhatikan
beberapa tradisi yang melembaga di bulan puasa ini tentu akan terlihat mana
yang bernilai positif dan mana yang dipandang kurang pas jika dihubungkan
dengan kesucian bulan Ramadlan.
Beberapa yang bisa
dipandang kurang pas atau negatif biasanya terlahir dari kreativitas bebas yang
tidak dibangun atas pertimbangan nilai-nilai dari puasa dan keutamaan bulan
puasa. Adapun yang masuk dalam kegiatan positif bila dilahirkan dari wujud
pelaksanaan nilai puasa dan anjuran-anjuran yang berhubungan tata cara mengisi
Ramadlan.
Seperti budaya
ngabuburit dalam bentuknya akhir-akhir ini, buka bersama, dan membangunkan
sahur dengan group dangdut serta mohon maaf lari pagi berdimensi
asmara subuh tampaknya termasuk kegiatan bertemakan Ramadlan yang harus di
reset (meminjam istilah teknologi komputer atau smartphone) harus
dikembalikan kepada posisi pengaturan pabrik, dalam hal ini ketentuan puasa dan
keutamaan bulan puasa.
Keprihatinan sebenarnya sudah begitu meletup-letup
tentang keinginan dan upaya untuk memperbaiki tradisi yang sudah
melembaga ini dengan meningkatkan pemahaman hakikat puasa dan tujuan serta
capaian nilai yang bisa digapai pasca bulan suci; kembali ke fitrah, posisi
terampuni segala kekhilafan dan menjadi pribadi baru yang siap menyongsong masa
depan lebih gemilang. Pertanyaannya bagaimana caranya?
PSBB (Pembatasan
Sosial Berskala Besar) ternyata (kehendak Allah SWT) yang diberlakukan hampir
seluruh belahan dunia pada Ramadlan tahun ini telah membantu me-reset tradisi
Ramadlan. Semoga pemahaman kita sama yakni menjadi titik balik peradaban sebagi dampak sosial
dari Ramadhan yang sehat dan benar, dan munculnya beberapa edaran terkait wabah yang melanda
dunia akhir tahun 2019 dan awal 2020 ini di antaranya menganjurkan tarawih di
rumah, membatasi kegiatan-kegiatan Ramadlan seperti buka bersama, ngabuburit,
sahur on the road, lari pagi dan lain sebagainya membantu mengembalikan
budaya Ramadlan pada kondisi lebih asli dan tentunya yang syar’i.
Kita semua, tentunya berharap, bahwa dengan mewabahnya pandemi covid 19
ini menjadi start point untuk mengingatkan kita agar tidak sombong, karena dengan makhluk
Tuhan yang kecil itu saja sudah memporak-porandakan tatanan Dunia, mengajak
beruzlah (stay @ home) dan mendekat serta berkumpul dengan keluarga dan
pembatasan-pembatasan lain
Pada akhirnya kita berdoa dan bermunajat kepada Alloh
Sang Penguasa hidup, semoga Ramadhan dalam suasana pandemi covid 19 tahun ini
menjadi sarana introspeksi atas sosilogi Ramadhan, sehingga dapat menghilangkan
sosio-kultural yang negatif dan salah menjadi tradisi yang positif dan benar,
agar tujuan puncak dari puasa tercapai, yakni menggapai fitrah dan kesucian
diri manusia dengan predikat muttaqun, aamiin
0 Komentar